Oleh Biyanto
Wakil Ketua II FKUB Jawa Timur
Rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Kota Metropolis Surabaya kini semakin memantapkan diri sebagai kota dengan branding bersih, sehat, dan hijau. Branding ini melengkapi berbagai label yang telah dicapai Surabaya, misalnya sebagai kota pendidikan, wisata religi, dan vokasi. Beberapa daerah di Nusantara juga telah belajar ke Surabaya. Itu berarti ‘virus’ clean, green, and hygiene (CGH) kini telah tersebar di banyak kota.
Melalui fasilitas taman yang tersedia di beberapa sudut kota, warga metropolis dimanjakan dengan berbagai sarana bermain untuk keluarga sambil menikmati hijaunya pepohonan dan udara yang segar. Kesadaran warga terhadap kesehatan lingkungan juga semakin meningkat. Tengoklah kondisi sejumlah sungai yang ada di tengah kota.
Kondisinya semakin terpeliharan sehingga tampak bersih. Warga kota juga terlibat dalam pemeliharaan sungai dan lingkungan sekitar. Kini sungai di kota metropolis ini layaknya sebagai sumber kehidupan. Jauh berbeda dari kondisi sungai pada masa lalu. Waktu itu dapat dikatakan bahwa kondisi sungai seperti sumber kematian.
Sungai juga menjadi tempat membuang segala jenis kotoran dan sampah. Untuk meningkatkan kesadaran warga terhadap kesehatan lingkungan, pemerintah kota (pemkot) Surabaya mengadakan even tahunan bertajuk Surabaya Bersinar Green and Clean (SBGC). Juga ada program Merdeka dari Sampah(MdS) yang melibatkan banyak kader lingkungan.
Melalui program tersebut kampung-kampung di Surabaya diajak untuk beradu bersih, sehat, dan hijau. Program SBGC dan MdS terasa relevan karena salah satu problem yang dihadapi kota-kota besar, termasuk Surabaya, adalah kesehatan lingkungan. Tentu saja program ini harus dikembangkan lebih massif dengan melibatkan berbagai elemen.
Pendidikan Berwawasan Lingkungan
Salah satu elemen yang layak dilibatkan adalah lembaga pendidikan. Satuan pendidikan, khususnya tingkat dasar dan menengah, harus didorong untuk mengembangkan kurikulum CGH. Kurikulum CGH penting untuk menanamkan kesadaran warga sekolah mengenai pentingnya menjaga lingkungan. Dengan menjadikan lingkungan bersih, hijau, dan sehat, berarti lembaga pendidikan turut mengatasi problem pemanasan global (global warming).
Persoalannya, sekolah umumnya tidak memiliki lahan yang cukup untuk bercengkerama dan bermain bagi anak. Akibatnya, anak merasa bosan jika harus berlama-lama di sekolah. Apalagi jika kondisi lingkungan di sekolah tidak sehat. Karena itulah pendidikan CGH mutlak diperlukan. Untuk menjadikan sekolah berwawasan lingkungan dapat ditempuh dengan cara yang mudah. Salah satunya dengan cara pengadaan tanaman yang ditempatkan di teras depan kelas. Meski terkesan sederhana tetapi banyak sekolah yang belum melakukan. Padahal cara ini dapat menyebabkan udara terasa segar dan lingkungan menjadi hijau.
Yang penting, pendidikan CGH tidak harus dipahami sebagai mata pelajaran mandiri. Itu karena loading materi dalam kurikulum pendidikan nasional sudah banyak. Alternatifnya, materi CGH dapat disisipkan (inserting) pada mata pelajaran relevan. Yang dibutuhkan adalah modul pembelajaran CGH. Materi CGH juga dapat diajarkan secara otentik seperti, guru membawa masuk tempat sampah yang sudah ditulisi sampah kering dan sampah basah atau sampah organik dan sampah anorganik. Guru cukup menjelaskan secara singkat jenis sampah. Selanjutnya anak diajak untuk berburu sampah dan memasukkannya di tempat sampah sesuai dengan jenisnya.
Dengan model pembelajaran otentik, materi pendidikan berwawasan lingkungan tidak mesti diajarkan di kelas. Anak dapat diajak berkeliling untuk mengamati problem lingkungan yang terjadi di sekolah dan sekitarnya. Proses pembelajaran ini dinamakan berparadigma konstruktivis. Melalui metode ini anak memperoleh pengalaman mengamati lingkungan, menemukan problem yang dihadapi, dan terlibat aktif merumuskan solusinya. Anak-anak akan menemukan alternatif jawaban dari hasil kerja sama dengan temannya.
Pasti banyak kejadian menarik yang ditemukan selama proses pembelajaran materi CGH. Misalnya, jika ditemukan puntung rokok maka anak akan berpikir bahwa masih ada budaya merokok di lingkungan sekolah. Padahal sekolah termasuk zona yang harus terbebas dari rokok. Demikian juga ketika ditemukan bekas bungkus makanan yang berserakan maka anak akan saling mengingatkan. Jika pembelajaran materi CGH dilakukan dengan benar, maka pasti dapat membangun budaya hidup bersih, hijau, dan sehat.
Melalui Kegiatan Ekstrakurikuler
Pembelajaran materi CGH juga dapat dilakukan melalui kegiatan ekstra, seperti keterampilan memanfaatkan sampah sebagai bahan dasar. Sebagai fasilitator, guru dapat menjelaskan bahwa jenis sampah kering berupa plastik dan kertas termasuk yang sulit dihancurkan. Karena itu, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan plastik dan kertas sebagai bahan berbagai jenis keterampilan. Sementara untuk sampah basah anak dapat belajar membuat kompos yang bermanfaat bagi tanaman. Melalui cara ini berarti guru telah mengajarkan anak untuk mengatasi problem sampah dengan reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), dan recycle (mendaur ulang).
Kegiatan ekstra di bidang kesehatan juga dapat dijadikan media pembelajaran materi CGH melalui gerakan cuci tangan pakai sabun (CTPS). Kultur CTPS ini penting ditanamkan sejak dini. Anak perlu diyakinkan bahwa mencuci tangan saja tidak cukup. Karena itu, mencuci tangan harus menggunakan sabun agar lebih bersih. Melalui pembelajaran ini anak memperoleh pengalaman cara yang benar dan waktu yang penting untuk CTPS.
Waktu yang penting untuk CTPS adalah sebelum makan, setelah buang air besar, sebelum memegang bayi, sebelum menceboki anak, dan sebelum menyiapkan makanan. Budaya CPTS ini tampak sepele, padahal banyak manfaat yang dapat diperoleh. Salah satunya adalah dapat menghindarkan diri dari ancaman penyakit diare. Menurut data lembaga kesehatan dunia (WHO), diare merupakan penyebab nomor satu kematian balita. Diare juga menjadi penyebab kematian balita nomor dua di Indonesia setelah Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA).
Lembaga dunia yang mengurusi pendidikan anak (UNICEF) juga memperkirakan bahwa setiap 30 detik ada anak yang meninggal dunia karena diare. Kementerian Kesehatan RI bahkan memberitakan bahwa setiap tahun ada 100.000 anak meninggal karena diare. Dampaknya, anak-anak itu tidak dapat merayakan ulang tahunnya yang ke-5 akibat wabah diare.
Karena itulah pendidikan berwawasan lingkungan perlu ditanamkan sejak dini melalui pembiasaan hidup yang bersih dan sehat pada anak-anak. Dari mereka inilah kita berharap muncul kader-kader lingkungan hidup pada masa mendatang. Bukankah agama telah mengajarkan bahwa kebersihan merupakan bagian dari iman? Itu berarti bahwa kualitas keimanan seseorang salah satunya dapat dilihat dari kemampuannya untuk menjaga kebersihan. Karena itu, hidup bersih dan sehat adalah sebuah keniscayaan.

