Merawat Kerukunan, Menggelorakan Ekoteologi
Oleh A. Hamid Syarif
Ketua FKUB Provinsi Jawa Timur
Majalah FORUM edisi kali ini mengangkat dua tema yang sama-sama penting. Dua tema itu adalah Kerukunan Umat Beragama Era Post Truth dan Ekotelogi Perspektif Agama-Agama. Tema pertama penting dibahas karena membicarakan negeri tercinta yang demikian pluralistik atau majemuk tentu tidak ada habisnya. Kemajemukan juga dikatakan sebagai bagian dari ketentuan dan rencana Tuhan.
Dalam bahasa agama Islam, kemajemukan merupakan sunnatullah. Tak terbantahkan, negeri ini dilihat dari aspek apapun menunjukkan kebhinekaan yang luar biasa. Kemajemukan jelas menjadi tantangan tersendiri. Jika mampu dikelola dengan baik, maka kemajemukan akan menjadi modal yang berharga. Kemajemukan dapat memberi energi yang positif bagi pembangunan masa depan bangsa.
Dengan sumber daya yang sangat melimpah dan beragam, maka setiap pihak dapat memberikan sumbangan berharga sesuai potensi yang dimiliki masing-masing. Di sinilah pentingnya kita memahami kata-kata bijak yang menyatakan: “perbedaan itu adalah rahmat”. Syaratnya, yang berbeda adalah orang-orang yang berpendidikan atau berilmu pengetahuan. Tetapi jika yang berbeda itu bukan orang yang berilmu, perbedaan pasti akan menjadi sumber bencana.
Karena itulah pendidikan memiliki posisi yang teramat penting bagi masyarakat atau bangsa yang majemuk seperti negeri ini. Melalui pendidikan yang maju, kita berharap akan lahir kesadaran terhadap kondisi negeri yang majemuk. Pada akhirnya, muncul kesiapan diri untuk hidup dalam suasana yang berbhinneka. Dalam Bahasa Bapak Ilmu Perbandingan Agama sekaligus mantan Menteri Agama RI, Abdul Mukti Ali, dikatakan prinsip: Agree in Disagreement (setuju dalam perbedaan).
Prinsip yang dikemukakan Mukti Ali sejalan dengan motto nasional: Bhinneka Tunggal Ika. Meski kita berbhinneka, namun harus tetap tunggal ika (unity in diversity). Namun demikian, untuk membangun kesadaran masyarakat hingga sampai pada tahap dewasa dalam menyikapi kemajemukan tentu tidaklah mudah. Pasti dibutuhkan investasi jangka panjang melalui pendidikan. Melalui pendidikan yang baik kita berharap akan bemunculan aktor yang bukan hanya menyadari pentingnya mewujudkan kerukunan. Lebih dari itu, kita berharap lahirnya sebanyak mungkin penggerak kerukunan umat beragama.
Sayangnya, kerukunan umat beragama yang sedang bertumbuh dan berkembang di negeri tercinta mendapat tantangan dari era yang dinamakan post truth. Era post truth adalah kondisi di mana kita seringkali kesulitan memilah dan memilih berita yang benar dan berita yang bohong (hoaks). Selama era modern kita memahami bahwa kebenaran itu selalu didasarkan pada adanya data dan fakta. Dalam teori korespondensi tentang kebenaran ditegaskan: suatu pernyataan dikatakan benar jika memiliki kesesuaian dengan kenyataan.
Tetapi doktrin tersebut menjadi kabur pada era post truth. Pada era ini kebenaran tidak lagi mementingkan data dan fakta. Konsep mengenai kebenaran untuk setiap orang juga berbeda, sangat bergantung pada persepsi atau opini masing-masing. Tegasnya, kebenaran pada era post truth didasarkan pada persepsi dan opini seseorang atau kelompok. Seseorang atau kelompok tidak lagi mementingkan data dan fakta tatkala memutuskan apakah berita yang diterima itu benar atau bohong. Yang terpenting, berita itu sesuai dengan persepsi atau opininya.
Salah satu filsuf terkemuka di tanah air, Haryatmoko, menyatakan bahwa kebohongan itu merupakan “anak kandung” era post truth. Dikatakan juga bahwa kebohongan yang diberitakan terus-menerus pada saatnya akan dianggap sebagai kebenaran. Pada konteks inilah elit agama dan tokoh ormas keagamaan penting mengajak umat untuk lebih cermat dan cerdas dalam menerima berita di media sosial (medsos). Di era post truth, kecermatan dan kecerdasan bermedia sosial sangat penting untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Yang juga penting dikembangan dalam kaitan dengan kerukunan umat beragama adalah keadaban bermedia sosial.
Pertanyaannya, apa hubungan antara kerukunan umat beragama dengan ekoteologi? Dua tema yang dibahas dalam Majalah FORUM edisi ini. Jawabnya, agama apapun pasti mengajarkan pentingnya menjaga hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta. Dalam kaitan inilah setiap individu atau kelompok penting memastikan diri masing-masing untuk hidup rukun damai dengan sesama manusia dan bersahabat dengan alam sekitar. Untuk mencapai kebahagian yang paripurna, kita seharusnya berakhlak mulia pada Tuhan, sesama umat manusia, dan alam kehidupan.
Bukankah berakhlak mulia itu merupakan cermin dari derajat keimanan dan keberagamaan kita? Pada konteks inilah semua yang terlibat dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di semua level penting mewujudkan kerukunan antar umat beragama di era post truth sekaligus memapraktikkan ajaran agama mengenai pentingnya bersahabat dengan alam sekitar. Jika hal ini dapat diwujudkan, maka keberagamaan kita benar-benar menghadirkan rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).

